Berharaplah hanya kepada Allah, karena hanya Allah lah yang tidak akan pernah mengecewakanmu. Jangan berharap kepada manusia, karena engkau akan kecewa. Imam Syafi’i mengatakan, “Ketika hatimu terlalu berharap pada seseorang, maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya pengharapan supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui orang yang berharap pada selain-Nya, Allah menghalangi dari perkara tersebut semata agar ia kembali berharap kepada Allah.” Maka, apabila kita memiliki harapan kepada sesama manusia, kembalilah berharap itu kepada Allah SWT. Kenapa? Karena kalau kita terlalu berharap pada manusia, kita pasti akan kecewa. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib ra. pernah bersabda, “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.” Berharaplah hanya pada hanya pada Allah Ta’ala, Dzat yang paling tinggi. Tak ada yang menandingi. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap,” QS. Al-Insyirah 8 Allah Ta’ala pun berfirman “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” QS. Al-Insyirah 5-6. Ini merupakan kabar gembira yang sangat besar, bahwa ketika ditemui sebuah kesulitan pasti akan diiringi dengan kemudahan. Sampai-sampai, andaikan kesulitan itu masuk ke lubang biawak, niscaya kemudahan pun akan masuk ke dalamnya kemudian mengeluarkannya. Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah Ta’ala, “…Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” QS. Ath-Thalaq 7 Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda “Sesungguhnya bersama kesedihan itu ada jalan keluar dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.” HR. Ahmad. Hal ini pun diperkuat tafsir dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di yang menyatakan, satu kesulitan tidak akan pernah mungkin mengalahkan dua kemudahan. Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Tidaklah seorang Mukmin ditimpa rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapus dosa-dosanya dengan sebab itu.” HR. Muslim, Ini semua lagi-lagi menjadi bukti bahwa kesulitan yang dihadapi manusia tidak akan selamanya. Ibarat hujan, ia akan berhenti dan melengkungkan warna indah pelangi. Ketika kita dilanda kesedihan, perbanyak istighfar mampu menjadi jalan kesembuhan bagi kesedihan kita. Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa memperbanyak istighfar mohon ampun kepada Allah niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar, dan untuk setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah akan memberinya rizki yang halal dari arah yang tidak disangka-sangka.” HR. Ahmad, Al Musnad Umar bin Khattab radhiyallahu anhu pun pernah bersabda, “Sebaik-baiknya kehidupan yang kami dapati adalah dengan kesabaran.” Karena kesabaran mampu menyentuh langit dan menurunkan kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita, sehingga Dia hilangkan kesulitan dan kedukaan kita karenanya. Astaghfirullah! Ya Allah, ampuni hamba yang terlalu berharap kepada selain-Mu. Kau telah timpakan pedihnya pengharapan selain kepada-Mu. Ya Allah, izinkanlah kami untuk selalu berharap kepada-Mu ya Rabb, agar kami terhindar dari kekecewaan karena terlalu berharap kepada selain-Mu. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu berharap hanya kepada Allah. Hits 9967 Sri Wahyuni Continue Reading
Tetapi pada akhirnya, kehidupan yang berpusat pada diri, merupakan kehancuran yang bukan hanya memisahkan kita dari sesama. Tetapi juga memisahkan kita dari kemuliaan Allah. Baca Juga: Renungan Yoel 2:12-17. Saya rasa, mungkin para motivator akan memberikan arahan kepada anda, perkatakanlah hal-hal yang positif, maka kehidupanmu akan semakin Oleh Salim A Fillah aku percayamaka aku akan melihat keajaibaniman adalah mata yang terbukamendahului datangnya cahaya“Aku”.Jawaban Musa itu terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling alim di muka bumi, Musa menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23 ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang keenampuluh mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata, “Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.”Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad Shallallaahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.”Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, Alaihis Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras itu, setelah ucapannya yang jumawa, Musa menerima perintah untuk berjalan mencari titik pertemuan dua lautan. Musa berangkat dikawani Yusya ibn Nun yang kelak menggantikannya memimpin trah Ya’qub. Suatu waktu, Yusya melihat lauk ikan yang mereka kemas dalam bekal meloncat mencari jalan kembali ke lautan. Awalnya, Yusya lupa memberitahu Musa. Mereka baru kembali ke tempat itu setelah Musa menanyakan bekal akibat deraan letih dan lapar yang menggeliang dalam sanalah mereka bertemu dengan seseorang yang Allah sebut sebagai, “Hamba di antara hamba-hamba Kami yang kamu anugerahi rahmat dari arsa Kami, dan Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Padanyalah Musa berguru. Memohon diajar sebagian dari apa yang telah Allah fahamkan kepada Sang Guru. Nama Sang Guru tak pernah tersebut dalam Al Quran. Dari hadits dan tafsir lah kita berkenalan dengan telah akrab dengan kisah ini. Ada kontrak belajar di antara keduanya. “Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar. Dan aku takkan mendurhakaimu dalam perkara apapun!”, janji Musa. “Jangan kau bertanya sebelum dijelaskan kepadamu”, pesan Khidzir. Dan dalam perjalanan menyejarah itu, Musa tak mampu menahan derasnya tanya dan keberatan atas tiga perilaku Khidzir. Perusakan perahu, pembunuhan seorang pemuda, dan penolakan atas permohonan jamuan yang berakhir dengan kerja berat menegakkan dinding yang nyaris minta kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang sempurna’ terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan semuanya.”Kita juga belajar bahwa membunuh’ bibit kerusakan ketika dia baru berkecambah adalah pilihan bijaksana. Dalam beberapa hal seringkali ada manfaat diraih sekaligus kerusakan yang meniscaya. Padanya, sebuah tindakan didahulukan untuk mencegah bahaya. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih.. Mencegah kerusakan didahulukan atas meraih kemashlahatan.”Dan dari Khidzir kita belajar untuk ikhlas. Untuk tak selalu menghubungkan kebaikan yang kita lakukan, dengan hajat-hajat diri yang sifatnya sesaat. Untuk selalu mengingat urusan kita dengan Allah, dan biarkanlah tiap diri bertanggungjawab padaNya. Selalu kita ingat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sultan yang dimakan fitnah memenjarakan dan menyiksanya. Tapi ketika bayang-bayang kehancuran menderak dari Timur, justru Ibnu Taimiyah yang dipanggil Sultan untuk maju memimpin ke garis depan. Berdarah-darah ia hadapi air bah serbuan Tartar yang bagai awan gelap mendahului fajar hendak menyapu musuh terhalau, penjara kota dan siksa menantinya kembali. Saat ditanya mengapa rela, ia berkata, “Adapun urusanku adalah berjihad untuk kehormatan agama Allah serta kaum muslimin. Dan kezhaliman Sultan adalah urusannya dengan Allah.”Iman dan Keajaiban yang MengejutkanSubhanallah, alangkah lebih banyak lagi ibrah yang bisa digali dari kisah Musa dan Khidzir. Berlapis-lapis. Ratusan. Lebih. Tapi mari sejenak berhenti di sini. Mari picingkan mata hati ke arah kisah. Mari seksamai cerita ini dari langkah tertatih kita di jalan cinta para pejuang. Mari bertanya pada jiwa, di jalan cinta para pejuang siapakah yang lebih dekat ke hati untuk diteladani?Musa. Bukan Karena di akhir kisah Sang Guru mengaku, “Wa maa fa’altuhuu min amrii.. Apa yang aku lakukan bukanlah perkaraku, bukanlah keinginanku.” Khidzir hanyalah’ guru yang dihadirkan Allah untuk Musa di penggal kecil kehidupannya. Kepada Khidzir, Allah berikan semua pemahaman secara utuh dan lengkap tentang jalinan pelajaran yang harus ia uraikan pada Rasul agung pilihanNya, Musa Alaihis Salaam. Begitu lengkapnya petunjuk operasional dalam tiap tindakan Khidzir itu menjadikannya sekedar sebagai operator lapangan’ yang mirip malaikat. Segala yang ia lakukan bukanlah perkaranya. Bukan orang yang menyebut diri Sufi mengklaim, inilah Khidzir yang lebih utama daripada Musa. Khidzir menguasai ilmu hakikat sedang Musa baru sampai di taraf syari’at. Maka seorang yang telah disingkapkan baginya hakikat, seperti Khidzir, terbebas dari aturan-aturan syari’at. Apa yang terlintas di hati menjadi sumber hukum yang dengannya mereka menghalalkan dan mengharamkan. Ia boleh merusak milik orang. Ia boleh membunuh. Ia melakukan hal-hal yang dalam tafsir orang awwam menyimpang, dan dalam pandangan syari’at merupakan sebuah pelanggaran Al Qurthubi sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Barii, membantah tafsar-tafsir ini. Pertama, tidak ada tindakan Khidzir yang menyalahi syari’at. Telah kita baca awal-awal bahwa semua tindakannya pun kelak bersesuaian dengan kaidah fiqh. Bahkan dalam soal membunuh pun, Khidzir tidak melanggar syari’at karena ia diberi ilmu oleh Allah untuk mencegah kemunkaran dengan tangannya. Alangkah jauh tugas mulia Khidzir dengan apa yang dilakukan para Sufi nyleneh semisal meminum khamr, lalu pengikutnya berkata, “Begitu masuk mulut, khamr-nya berubah menjadi air!”Tidak sama!Kedua, setinggi-tinggi derajat Khidzir menurut jumhur ulama adalah Nabi di antara Nabi-nabi Bani Israil. Sementara Musa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran istimewa Rasul Ulul Azmi bersama Nuh, Ibrahim, Isa, dan Musa jauh lebih utama daripada Khidzir.“Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” Al A’raaf 144Ketiga, Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka dalam Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti jalan cinta para pejuang. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul Azmi menjadi mungkin kita teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Dengan iman. Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu apa yang menanti di mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini Hanya kepada Allah kita berharap dan bergantung. Saat kita bergantung hanya kepada Allah, tidak ada lagi yang perlu kita risaukan dalam hidup ini. Sebab, kita yakin Allah selalu bersama kita: innallaha ma’ana. Saat kita lari ke Allah berarti kita sudah berserah diri kepada Nya, tentu juga harus dibarengi dengan melakukan ikhtiar yang maksimal. KHUTBAH JUMAT Hanya Berharap Kepada Allah الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِالْأَمْوَالِ، وَأَبَاحَ لَنَا التَّكَسُّبَ بِهَا عَنْ طَرِيْقِ حَلاَلٍ، وَشَرَعَ لَنَا تَصْرِيْفَهَا فِيْمَا يُرْضِيْ الْكَبِيْرَ الْمُتَعَالَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَكْرَمُ النَّاسِ فِيْ بَذْلِ الدُّنْيَا عَلَى الْإِسْلاَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا، أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَأَدُّوْا مَا أَوْجَبَ اللهُ عَلَيْكُمْ فِيْ أَمْوَلِكُمْ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Kita bersyukur kepada Allah yang masih memberikan iman dan islam di dalam jiwa dan raga. Dua karunia sebagai bekal Sentosa di dunia dan alam setelahnya. Allah juga masih memberi kita nikmat aman menjalankan syariat agama. Menunaikan shalat tanpa todongan senjata, membaca quran dan mengagungkan syiar islam tanpa takut hilang nyawa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti sunah Rasulullah hingga hari kiamat. Tak lupa khatib mewasiatkan takwa kepada diri khatib pribadi dan kepada jamaah semua, lantaran takwa menjadi bekal terbaik untuk menghadap sang pencipta. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Istilah fakir, sering diidentikkan dengan orang yang tidak memiliki harta yang cukup untuk kelangsungan hidup secara layak. Karenanya, dalam aturan fikih orang fakir berhak menerima zakat. Inilah satu makna dari fakir, tidak memiliki harta yang bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Namun makna kefakiran yang lebih umum adalah ibaaratun an faqdi maa huwa muhtaajun ilaihi’, ungkapan terhadap ketiadaan sesuatu yang dibutuhkan, seperti yang dijelaskan al-Ghazali dalam Ihya’-nya. Dari sudut pandang ini, seseorang cukup dikatakan fakir ketika masih ada kebutuhan atau keperluan yang belum bisa ia dapatkan. Maka tidak diragukan lagi, bahwa segala yang ada selain Allah Ta’ala adalah fakir. Firman Allah Ta’ala, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ [فاطر/15] “Wahai manusia, kamulah yang fakir kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya tidak memerlukan sesuatu lagi Maha Terpuji.” QS. Faathir 15 Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Sisi kefakiran manusia bisa dibilang nyaris atau bahkan tak terhingga, karena hajat keperluan manusia memang tak ada hingganya. Selalu ada tuntutan kebutuhan yang ingin diraihnya, sebagai apapun dan kapanpun ia berada. Yang sakit butuh sembuh, yang sehat ingin berkarya. Yang miskin ingin kaya, yang kaya ingin wibawa. Karyawan butuh pekerjaan, pengusaha pun butuh karyawan. Rakyat mengharap bantuan pejabat, pejabat juga butuh dukungan rakyat. Yang bujang ingin menikah, yang menikah ingin memiliki anak, yang memiliki anak ingin juga agar anak bisa berbakti kepadanya. Dan begitulah, setiap manusia memiliki sisi kefakiran, selalu ada kebutuhan yang ingin diraihnya. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Karena fakirnya manusia, maka tatkala manusia membantu orang lainpun, sebenarnya ia lakukan demi membantu dirinya sendiri. Karena tak ada bantuan tanpa pamrih, tak ada pertolongan yang murni tanpa tendensi. Dengan kata lain, ketika sesorang berbuat baik kepada orang lain, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung sejatinya kebaikan itu hanyalah jembatan yang ia gunakan untuk membantu dirinya sendiri mendapatkan apa yang ia butuhkan. Yang membedakan manusia dari sisi ini hanyalah jenis tendensi yang dmiliki dan lebih khusus lagi, kepada siapa harapan itu ditujukan. Ada seseorang yang berbuat baik kepada orang lain, tapi tujuan ia membantu karena ingin mendapat sesuatu yang sama atau lebih dari orang yang dibantunya. Seandainya tak ada gambaran keuntungan yang bisa diharapkan dari orang yang hendak dibantunya, niscaya ia tidak akan membantunya. Seperti membantu tetangga dalam penyelenggaraan resepsi agar kelak tetangga membantunya pula saat ia menyelenggarakan resepsi. Memberi kado pernikahan agar saat dia menikah juga mendapat kado balasan. Atau mengulurkan bantuan kepada orang lain agar yang dibantu bisa memberikan peluang pekerjaan, dan masih banyak lagi kasus yang lain. Singkatnya, sebenarnya ia yang membutuhkan bantuan, lalu dia membantu orang lain agar kebutuhnnya terpenuhi. Balasan yang diharapkan, tak selalu berupa materi. Karena ada orang-orang yang sudah berkecukupan secara materi, tapi masih membutuhkan ucapan terimakasih, butuh pengakuan, penghormatan, penokohan atau hanya sekedar kalimat pujian. Seandainya bantuannya tidak membuahkan apa yang mereka kehendaki, niscaya akan ada keluhan dan penyesalan. “Si fulan tidak tahu terimakasih…air susu dibalas air tuba…kacang lupa kulitnya,” dan banyak lagi keluhan senada dilontarkan. Dan selagi seseorang membantu orang lain agar orang lain membantunya, dia harus bersiap-siap untuk kecewa. Karena manusia banyak lupa akan jasa orang lain terhadapnya. Dan sebagian lagi tidak menganggap istimewa bantuan kita, dan yang lain memang tidak pandai berterimakasih. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Yang paling istimewa adalah orang yang membantu orang lain, namun dia berharap gantinya kepada Allah. Tak masalah baginya membantu orang yang sudah dikenal atau belum dikenalnya, ada potensi balas budi atau tidak, baginya tidak menjadi soal, karena bukan balasan dari mereka yang diharapkan, tapi balasan dari Allah. Seperti perkataan al-abraar’ orang-orang yang berbakti dalam firman-Nya, إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.” QS. al-Insan 9 Dia tidak menjadi sedih lantaran kebaikannya tak dibalas secara layak, tidak disambut dengan ucapan terimakasih, atau bahkan mendapat perlakuan yang sebaliknya. Karena memang bukan dari mereka balasan diharapkan. Mereka yakin, Allah tidak melupakan kebaikannya, akan menghargai usahanya dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik, dan Allah tidak pernah salah dalam mengkalkulasi kebaikan pelakunya. Dan hanya Allah yang bisa membalas kebaikan dengan sempurna, bagi orang yang memang berharap kepada-Nya. Firman Allah Ta’ala, وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٢﴾ “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya dirugikan.” QS. al-Baqarah 272 Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Begitu dalamnya penghayatan seorang ulama tabi’in Rabi’ bin Khutsaim dalam persoalan ini. Hingga di saat sakit, ia memberikan roti kesukaannya kepada seorang pengemis tua yang tampak kurang waras. Hingga anaknya berkata, “Semoga Allah merahmati ayah, ibu telah bersusah payah membuatkan roti istimewa untuk ayah, kami sangat berharap agar ayah mau menyantapnya, namun tiba-tiba ayah berikan roti itu kepada orang linglung yang tidak tahu apa yang sedang dimakannya.” Beliau menjawab dengan bijak, “Wahai putraku, kalaupun ia tidak tahu apa yang dimakannya, maka sesungguhnya Allah Maha Tahu.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Begitulah, semua manusia memang fakir, akan tetapi hendaknya kefakiran kita tertuju kepada Allah, bukan kepada makhluk yang sama-sama fakir. Ya Allah, rahmat-Mu senantiasa kami harapkan, maka janganlah Engkau serahkan nasib kami kepada kami sendiri meskipun sekejap mata. Perbaikilah urusan kami seluruhnya, tiada ilah yang haq kecuali Engkau. Aamiin. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ KHUTBAH KEDUA إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَىخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمْسُلْماتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُم واَلأَمْوَاتِ اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين والله، لو يئست من الخلق حتى لا تريد منهم شيئا، لأعطاك الله مولاك كل ما تريد. “Demi Allah, seandainya engkau benar-benar putus asa dari makhluk hingga engkau tidak berharap sedikitpun dari mereka, niscaya Allah akan memberimu semua yang engkau inginkan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam Mencegah kecewa, jangan berharap pada manusia cukup Allah saja. Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia Kita pasti pernah berharap kepada sesama manusia. Misalnya berharap kenaikan gaji? Berharap promosi jabatan? Berharap dicintai balik? Namun, apa yang kita rasakan ketika keinginan tersebut tidak terwujud? Atau hanya menjadi lamunan semata? Pastinya kecewa, sedih dan marah kan? Kenapa hal itu bisa terjadi? Mempunyai harapan dan cita-cita adalah hal yang normal. Namun bila terlalu berharap kepada orang lain, maka kita akan selalu memikirkan itu bahkan sampai terobsesi dan lupa pada kenyataan. Jika sudah lupa pada kenyataan akan membuat akal sehat kita tertutup. Padahal kenyataan tidak selalu indah. Bisa saja harapan tersebut sirna dan membuat stress dan kecewa. Lalu sebaiknya apa yang harus dilakukan supaya tidak terlalu berharap pada manusia? supaya mencegah rasa kecewa dan marah? apalagi ketika harapan selama ini tak menjadi kenyataan? Rasa kecewa muncul apabila menggantungkan harapan yang terlalu tinggi pada orang lain. Padahal orang tersebut adalah manusia biasa yang memiliki kekurangan. Mereka sama seperti kita, makhluk tak berdaya tak berkekuatan kecuali atas izin Allah SWT. Karena itu mari kita kurangi berharap besar pada orang lain. Cukup Allah saja. “Berharap kepada manusia” adalah ungkapan yang mengindikasikan bahwa seseorang mengharapkan sesuatu dari orang lain. Ini bisa berupa dukungan, bantuan, atau sesuatu yang lainnya. Namun, seringkali orang merasa kecewa atau kehilangan harapan mereka ketika orang lain tidak dapat memenuhi harapan atau tidak memberikan apa yang diharapkan. Ada beberapa hal yang perlu diingat ketika seseorang berharap kepada manusia Orang lain tidak selalu dapat memenuhi harapan kita. Mereka mungkin sibuk, tidak memiliki waktu, atau tidak memiliki kemampuan untuk membantu. Mengharapkan terlalu banyak dari orang lain dapat menyebabkan kekecewaan dan rasa tidak puas. Lebih baik untuk tidak mengharapkan terlalu banyak dari orang lain dan mencoba untuk mencari solusi sendiri jika memungkinkan. Tidak selamanya orang lain akan memberikan apa yang kita harapkan. Mereka mungkin memiliki pendapat yang berbeda atau kepentingan yang tidak sama dengan kita. Seringkali lebih baik untuk tidak terlalu bergantung pada orang lain dan belajar untuk mengelola harapan kita sendiri. Ini dapat membantu kita untuk lebih cepat move on dan menemukan solusi lain jika harapan kita tidak terpenuhi. Baca Juga 46 Kata Kata Pasrah Islami dari Al-Quran dan Para Ulama Alquran Diturunkan Selama Berapa Tahun? Pengertian & Fungsi Al-Qur’an Jangan Berharap pada Manusia Simak nasihat-nasihat bijak Sayyidina Ali dan Imam Syafii ini Sayyidina Ali pernah berkata “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.” Ali bin Abi Thalib Imam Syafi’i berkata “Ketika kamu berlebihan berharap pada seseorang, maka Allah akan timpakan padamu pedihnya harapan-harapan kosong. Allah tak suka bila ada yang berharap pada selain Dzat-Nya, Allah menghalangi cita-citanya supaya ia kembali berharap hanya kepada Allah SWT.” Sebaik-baiknya berharap hanyalah kepada Allah Ustadz Hanan Attaki Memberikan petuah tentang hal ini berharap sama Allahkarena berharap sama manusiaemang selalu ada sisi kecewanyawalaupun orang yang kita harapin itu orang baikbisa aja orang baik itu ngecawain kita bukan karena jahat, tapi karena dia manusiadia bisa lupa, dia bisa lelah, kadang-kadang juga lagi lemahsehingga dalam kondisi kayak gitu kita tetep dikecewakan, walaupun dia ga ada niat ngecewain kitatapi kalau berharapnya ke Allah, harusnya sih ga ada kata menyerah dan menyesal ataupun menderita secara berlebihanselalu ada “khair” setelahnyakarena ada para sahabat yang ngelamin kayak gitu, disakiti dia selalu bisa keluar ketika melibatkan ALlah SWTjadi, libatkan Allah dalam segala kondisiberharap yang terbaik, baca doa musibah, insha Allah diberikan jalan keluar dan ganti yang lebih baik. Allah berfirman dalam surat Al insyirah ayat 8 وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ “dan hanya kepada Rabb-mu hendaknya kamu berharap” Pernahkah kita berdoa meminta pada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Allah SWT adalah Rabb sang Pencipta ummat manusia dan seluruh makhluk di dunia ini. Dia Maha Mendengar Doa para hamba-Nya. Dialah Allah Khalik di alam semesta ini. Apabila seseorang hanya berharap kepada Allah, maka Inshaa Allah apapun hasilnya, kita akan pasrah dan tenang, karena itu sudah kehendak-Nya. Seseorang akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah. Sekalipun yang diterima adalah berlawanan dengan apa yang diinginkannya. Jangan berharap pada manusia, cukuplah pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu Alam.